Kemudian 'ia menoleh kepada kekasihnya. "Tidakkah benar begitu, kekasihku?" 171 Patih Prasanta hanya menghela nafas. Ia mengalihkan pandangan dan junjungannya. "Mamanda!" terdengar Raden Panji bicara pula. "Pangkulah Bibi Wagini! Kasihan ia wanita, sudah lanjut pula usianya! Biar Dewi Anggraeni akan kupangku. Mamanda pangku Bibi Wagini!
Ia seorang emban setia, pengasuh kekasihku sejak masih kecil, tak mau ditinggalkan ke mana pun gustinya pergi . . . Sekarang, mari kita ajak dia ke laut. Biar senang keduanya menyaksikan tamasya
laut yang indah . ..," kemudian ia menoleh kepada mayat istrinya, "Bukankah Adinda belum melihat laut yang berbusa putih? Laut yang sejauh-jauh mata memandang terhampar luas? Pucuk ombak gemerlap,
perahu mayang, ikan-ikan, binatang-binatang, matahari, dan bulan!
Ya, kita lihat matahari dan bulan bersama-sama di atas laut! Mari, mari sekarang juga Kanda antar ke sana, biar suka hatimu, biar puas Adinda menghirup udara laut yang menyegarkan! Mari kita berangkat, mari!"
lalu ia pun bangkit, dipangkunya istrinya, kemudian berjalan menuju kudanya. Hati-hati sekali dinaikkannya tubuh istrinya itu di atas kuda, Mari Berkomunitas Di Faceblog lalu dilepaskannya tali tambalannya, baru ia naik.
Dipegangnya kendali dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memeluk tubuh istrinya erat-erat. "Mari Mamanda! Mari. cepat!" teriaknya sambil mcnoleh kepada Patih Prasanta. "Mengapa Mamanda selalu ayal-ayalan? Patih Prasanta segera melakukan Utah junjun*-annya. Dipangkunya mayat Emban Wagini lalu dinaikkannya ke atas kuda. Tetapi sebelum ia sendiri naik, diberinya isyarat supaya para ponggawa pun turut mengikutinya.
"Biar bagaimana pun, mesti kita ikuti ..." katanya kepada para ponggawa itu. "Jangan biarkan ia berbuat apa pun sendirian ... Ke manapun kita mesti turut. Hatinya sangat berduka dan cintanya kepada istrinya sangat besar, maka tak mau ia percaya bahwa istrinya sudah meninggal. Maka baginya, Dewi Anggraeni itu masih berjiwa jua agaknya ..." Para ponggawa mendengarkan perkataan patih Prasanta dengan diam-diam dan menundukkan kepala. Mereka menundukkan kepala, lantaran terharu dan iba yang amat sangat. Segera mereka mengambil kudanya masing-masing dengan diam-diam.
Sementara itu Raden Panji sudah beberapa belas tumbak meninggalkan mereka. Sayup-sayup terdengar senandungnya yang parau. Makin lama suaranya makin keras dan makin keras jua. Walaupun parau, suaranya bagaikan bukan orang berduka, melainkan riang seriang-riangnya riang. Demikianlah iring-iringan yang aneh itu berjalan.
Di depan Raden Panji memeluk mayat istrinya tak henti-hentinya menembang. Dan di belakangnya mengikuti Patih Prasanta yang jUga memeluk mayat, tetapi ia tidak menembang, melainkan berwajah muram dan berduka. Di belakang mereka mengikuti para ponggawa yang juga tidak nampak gembira, bahkan bersedih hati. Keluar dari hutan, maka nampaklah tegalan yang luas, dengan ilalang yang bergelombang. Di kejauhan terdengar dentur ombak laut yang menerjang pantai. Mari Berkomunitas Di Faceblog
"Dengar, kaudengarkan kekasihku, suara gelombang itu menghimbau memanggilmu? Mari, mari kita ke sana! Laut ingin dikunjungi oleh putri jelita seperti engkau, supaya sudi mencecahkan kakimu indah berbasah-basah di tepi pantai ..." bisik Raden Panji kepada istrinya.
"Dan lihat! Alangkah indahnya! Di sini tidak seperti dalam hutan! Pemandangan luas dan bebas! Tak ada pohon-pohon suram yang menghalangi pandangan! Alangkah luas! Mari dongakkan kepalamu, pandanglah semuanya sepuasmu!"
Suara ombak makin nyata terdengar, dan tak lama kemudian sampailah mereka di pesisir. Pucuk ombak yang menuju pantai gemerlap dalam sinar matahari yang terik. Keringat kuda bercucuran, ^rmanuc-manik sepanjang surinya, bagaikan perlua.
Uhallah ,aut luas terbentang di hadapanmu itu! Alangkah indahnya pemandangan samudra di bawah bulan van, purnama! Sungguh Mari Berkomunitas Di Faceblog cemerlang! Dan bulan itu -ia mendongak ke arah langit, lalu menunjuk ke arah
matahari yang bersinar terik itu, "alangkah bulatnya!" Demi sampai di tepi pantai, lalu ia turun dari kuda sambil memangku kekasihnya, yang dipeluknya. Kakinya yang indah itu dibiarkannya dibasahi sibakan-sibakan air yang didorong ombak dari tengah.
"Sungguh menyegarkan air laut ini!" serunya gembira. "Tidakkah engkau senang air yang segar itu membasahi kakimu, sayang?" Tak lama kemudian Patih Prasanta pun sampai juga ke sana.
"Mari, mari ke mari Mamanda! Kita berjuntai di sini, membasah-basahi kaki dengan air laut yang menyegarkan ini!" Beberapa lamanya mereka berbuat demikian, hingga tiba-tiba Raden Panji melompat dari duduknya. "Mamanda. lihat! Lihat di Muara itu banyak perahu! Mari, kita pinjam beberapa buah, supaya
boleh kita bersenang-senang berlayar ke tengah samudra.